PENGERTIAN POLITIK DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Advertisement

Masukkan script iklan 970x90px

PENGERTIAN POLITIK DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Sulthan Blog
Selasa, 17 Januari 2023

PENGERTIAN POLITIK DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Hallo, selamat siang, di kesempatan akan membawa pembahasan tentang makalah mahasiswa hukum PENGERTIAN POLITIK DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN simak selengkapnya.

PENGERTIAN POLITIK DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN

A. PENDAHULUAN

Politik ialah pembuatan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang berwujud proses pembuatan keputusan, terkhusus pada negara. Pengertian Politik andaikan ditinjau dari hajat penggunanya, ketatanegaraan terbelah arah dua yaitu pengertian ketatanegaraan dalam batasan hajat am dan pengertian ketatanegaraan dalam batasan kebijaksanaan. Pengertian ketatanegaraan dalam batasan hajat am ialah segala ikhtiar bagi hajat am apik itu yang ada dibawah kekuasaan negara maupun pada daerah. 

Pengertian ketatanegaraan ala singkat atau sederhana ialah teori, metode atau teknik dalam memengaruhi orang sipil atau individu. Politik melahirkan tingkatan satu blok atau perseorangan yang membahas melanda hal-hal yang berjalan didalam masyarakat atau negara. Seseorang yang menjalankan atau melakukan kegiatan ketatanegaraan disebut sebagai "Politikus". Politik dan bimbingan ialah dua keadaan yang tak agak-agak dipisahkan. Politik memanifestasikan bentuk pendidikan, dan bimbingan merajai kehidupan politik.

Sedangkan kebijakan bimbingan melahirkan kebijakan yang ditujukan untuk mencapai alamat pembangunan bangsa dibidang pendidikan, akibat salah ahad alamat pembangunan bangsa ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan kehidupan bangsa tersebut seharusnya terus-menerus untuk dibangun sehingga akhirnya bakal mencapai alamat yang diharapkan yaitu kesejahteraan sarwa masyarakat Indonesia. Kesejahteraan ini dapat gol manakala manusia yang jadi warga negara ada tingkat kecerdasan yang memadai, untuk dapat menguasai dan mempraktekkan ilmu dan ilmu yang dimiliki. Agar ilmu yang dimiliki dapat bermanfaat apik alokasi dirinya maupun orang lain.

Di dalam makalah ini, penulis bakal membahas ala detail apa yang dimaksud dengan ketatanegaraan dan apa yang dimaksud dengan kebijakan pendidikan.

Foto by: pixabay

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Politik

Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, ketatanegaraan ialah ilmu melanda politik atau kenegaraan; segala urusan dan tindakan kebijaksanaan, siasat dan sebagainya melanda pemerintahan satu negara atau akan negara lain.[1]

Banyak para andal menyikapi ketatanegaraan dengan beragam pendapat, Joyce Mitchel dalam Philipus mengemukakan bahwa ketatanegaraan ialah pemungutan keputusan kolektif atau pembuatan kebijaksanaan am untuk masyarakat seluruhnya.[2] 

Menurut Maran, ketatanegaraan melahirkan belajar khusus akan cara-cara manusia memecahkan permasalahan bersama dengan masalah lain. Dengan bicara lain, ketatanegaraan melahirkan bermacam-macam kegiatan dalam satu bentuk ketatanegaraan atau negara melekat proses penentuan dan aktualisasi tujuan-tujuan.[3] Menurut pendapat Roger F. Soltau ketatanegaraan ialah kegiatan dalam satu bentuk atau negara yang melekat proses untuk menunjukkan bersama negara dan melaksanakan alamat itu.

Baca juga: Contoh makalah grounded theory

David Easton dalam Philipus mendefinisikan ketatanegaraan sebagai sarwa aktivitas yang merajai kebijaksanaan. Surbakti mengemukakan bahwa ketatanegaraan melahirkan interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam bagan bersama masyarakat yang tinggal dalam satu wilayah tertentu.[4]

Menurut Aristoteles ketatanegaraan ialah upaya atau aturan untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Menurut Meriam Budhiarjo, pengertian ketatanegaraan ialah macam-macam kegiatan yang melekat penentuan tujuan-tujuan dan aktualisasi alamat itu. Menurut Hans Kelsen ketatanegaraan ialah macam-macam kegiatan dalam satu sistempolitik, atau negara, yang melekat proses memasang sekaligus melaksanakan tujuan-tujuan bentuk itu.[5]

Jika ditinjau dari hajat penggunanya pengertian ketatanegaraan terbelah arah dua yaitu pengertian ketatanegaraan dalam batasan hajat am dan pengertian ketatanegaraan dalam batasan kebijaksanaan. Pengertian ketatanegaraan dalam batasan hajat am ialah segala ikhtiar bagi hajat am apik itu yang ada dibawah kekuasaan negara maupun pada daerah. Pengertian ketatanegaraan ala singkat atau sederhana ialah teori, metode atau teknik dalam memengaruhi orang sipil atau individu. Politik melahirkan tingkatan satu blok atau perseorangan yang membahas melanda hal-hal yang berjalan didalam masyarakat atau negara. Seseorang yang menjalankan atau melakukan kegiatan ketatanegaraan disebut sebagai ”Politikus”.

Dalam prakteknya, ketatanegaraan dan pemerintah berjalan berdampingan. Artinya ketatanegaraan dan pemerintah itu saling berkaitan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketatanegaraan dalam pelaksanaannya di pemerintah memanifestasikan kebijakan-kebijakan yang berikut melepaskan pengaruh akan segala aspek yang ada di satu bangsa itu sendiri.

Berdasarkan beragam definisi ketatanegaraan di atas, dapat disimpulkan bahwa ketatanegaraan sebagai aktivitas yang merajai pemungutan keputusan dan aktualisasi kebijaksanaan bersama aktivitas antara masyarakat dan pemerintah untuk alamat bersama.

Sedangkan Budaya ketatanegaraan dapat dilihat ala am dari dua segi, yaitu:

  1. Masalah objektivitas versus objektivitas dalam belajar keilmuan yang  memasalahkan akan andil adicita prasangka atau praduga dalam ikhtiar mencari kebenaran. 
  2. Masalah andil adicita di dalam proses ketatanegaraan yang sesungguhnya berjalan di masyarakat.

Hubungan ketatanegaraan dan bimbingan melahirkan ahad kesatuan yang akrab dan alot dipisahkan. Hal ini sama halnya, seperti memasalahkan hubungan antara makulat dan ilmu pengetahuan. Alex Roseberg menganggap bahwa kedua berjalan ala bersama-sama, makulat terkadang mendahului angan-angan ilmu pengetahuan, akan tetapi di era modern dan post-modern, alamat kajian makulat ialah ilmu pengetahuan.[7]

Demikian halnya dengan ketatanegaraan dan pendidikan. Awalnya, ketatanegaraan bimbingan terlahir akibat kebutuhan dalam negeri dan kebutuhan teritori negara tertentu, akan tetapi pada perkembangannya, bimbingan jadi hajat global. Imbasnya, ketatanegaraan (baca; kebijakan) bimbingan lokal harus disesuaikan dengan kaedah dan fitur mitos globalisasi. Politik bimbingan regional tak selalu mementingkan kebutuhan nasional, melainkan pembangunan adam global.[8]

M. Sirozi melukiskan bahwa bicara ketatanegaraan bimbingan tak sesederhana dua bicara selanjutnya. Politik pendidikan, dalam pandangannya, melahirkan proses berjarak yang menghajatkan keterlibatan struktur, proses perdebatan ilmiah, dan ramalan akibat (forcasting the effect), bersama strategi yang khusus dalam proses Sosialisasinya.[9]

Dale (dalam Sirozi), menambahkan bahwa kajian ketatanegaraan bimbingan ada ciri; pertama, memasalahkan proses pembuatan keputusan, kedua, mereduksi ketatanegaraan jadi administrasi, dan ketiga, terfokus pada perangkat kerja kebijakan. Selain itu, ketatanegaraan bimbingan juga mengkaji efektifitas korelasional antara yang dikonsepsikan dengan fakta di lapangan.

Fungsi ketatanegaraan dalam bimbingan mengungkap jenis-jenis penyelenggaraan pendidikan, pengembangan kurikulum maupun pengembangan organisasi, dalam bagan menanamkan konsep-konsep filosofis akan masyarakat ketatanegaraan yang apik atau tatanan kemasyarakatan yang baik. Berkenaan dengan fungsi ini, maka Easton kemudian mengajukan pertanyaan, apa peran yang harus dimainkan oleh bimbingan dalam bagan membangun warga negara yang baik?

Dale dan Apple melihat fungsi ketatanegaraan bimbingan dari sudut pandang relasi negara dan pendidikan. Keduanya menemukan bahwa sekolah jadi salah ahad alamat ketatanegaraan modern dimana saya dapat menyaksikan betapa dengan cara apa kesadaran (consent) dan hegemoni tertentu terjaga dan mengalami kehancuran.Perubahan kurikulum disetiap periodesasi kepemimpinan di bagian bimbingan dalam negeri ialah salah ahad bukti akan kesadaran hegemoni terjaga dan hancur.

Berbagai persoalan yang ada belakangan dalam adam bimbingan seperti unjuk rasa para guru, mahasiswa, depat jemaah akan isu-isu pendidikan, lebih-lebih alokasi anggaran bimbingan dalam APBN dan APBD, otonomi lembaga pendidikan, tak hanya menghajatkan pemahaman superficial akan kerangka ketatanegaraan dimana sekolah diselenggarakan, tetapi juga menghajatkan pemahaman akan proses-proses yang memanifestasikan beragam keputusan mendasar akan bimbingan disemua jenjang administratif. Disinilah fungsi ketatanegaraan bimbingan jadi sangat diperlukan.

Baca juga: Review Buku metode penelitian kuantitatif



2. Pengertian Kebijakan Pendidikan

a. Pengertian kebijakan

Dalam adab Inggris kebijakan disebut public policy, yaitu satu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang aktor atau oleh blok ketatanegaraan dalam ikhtiar memastikan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai alamat itu. Pada umumnya, bagian yang melahirkan kebijakan tersebut sekaligus ada kekuasaan untuk melaksanakannya.[10]

Kebijakan menurut Anderson yang dikutip oleh Ali Imron mengemukakan bahwa kebijakan ialah serangkaian tindakan yang ada alamat tertentu yang mesti diikuti oleh para pelakunya untuk memecahkan satu masalah.[11] Sementara Budiarjo berpendapat bahwa kebijakan ialah sekumpulan keputusan yang diambil oleh seseorang aktor atau blok ketatanegaraan dalam ikhtiar memastikan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai alamat tersebut.[12]

Pengertian di arah menunjukkan bahwa pihak-pihak yang melahirkan kebijakan itu ada kekuasaan untuk melaksanakannya. Kebijakan tersebut melahirkan aturan-aturan yang semestinya dan harus diikuti tanpa pandang bulu, melilit sapa -- pun barang siapa pun yang dimaksud untuk diikat oleh kebijakan tersebut.

Menurut Syafaruddin, kebijakan ialah hasil pemungutan keputusan oleh manajemen puncak apik berupa tujuan, prinsip, maupun aturan yang berangkaian dengan hal-hal penting untuk memandu para manager dan personel dalam memasang masa depan badan yang berimplikasi alokasi kehidupan masyarakat.

Thomas Dye memberi batasan arah kebijakan sebagai “apa sahaja yang akan dilaksanakan atau tak dilaksanakan oleh pemerintah.”[13] Aminullah yang dikutip oleh Edi Suharto[14], menyatakan bahwa: “kebijakan ialah satu upaya atau tindakan untuk merajai bentuk pencapaian alamat yang diinginkan, upaya dan tindakan dimaksud bersifat penting yaitu berjangka berjarak dan menyeluruh”.

Menurut Perserikatan Bangsa Bangsa, kebijakan diartikan sebagai arahan untuk bertindak. Pedoman tersebut bisa yang berwujud amat sederhana atau kompleks, bersifatumum ataupun khusus, luas ataupun sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperici, kualitatif atau kuantitatif, jemaah atau privat. Kebijakan dalam maknanya seperti ini agak-agak berupa satu deklarasi melanda satu alas arahan bertindak, satu arah tindakan tertentu, satu program melanda aktivitas-aktivitas tertentu atau satu rencana.[15]

Pengertian di arah menunjukkan bahwa pihak-pihak yang melahirkan kebijakan itu ada kekuasaan untuk melaksanakannya. Kebijakan tersebut melahirkan aturan-aturan yang semestinya dan harus diikuti tanpa pandang bulu, melilit sapa -- pun barang siapa pun yang dimaksud untuk diikat oleh kebijakan tersebut.



b. Pengertian Pendidikan

Pendidikan berakar dari adab Yunani, yaitu paedagogie yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam adab Inggris dengan education yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam adab Arab, istilah ini sering diterjemahkan dengan tarbiyah yang berarti pendidikan.[16]

Pendidikan melahirkan satu proses generasi muda untuk dapat menjalankan kehidupan dan memenuhi alamat hidupnya ala lebih efektif dan efisien. Pendidikan lebih dari pada pengajaran, akibat pengajaran sebagai satu proses memindahkan ilmu belaka, sedang bimbingan melahirkan transformasi nilai dan pembuatan budi pekerti dengan segala aspek yang dicakupnya. Pendidikan ialah masa depan bangsa. Keberhasilan satu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pangkal kapabilitas manusia dan bimbingan ialah salah ahad aturan untuk memperolah sumberdaya manusia yang handal.[17]

Ki Hajar Dewantara mengartikan bimbingan sebagai upaya untuk memajukan budi pekerti, anggapan bersama awak anak, biar dapat memajukan kesempurnaan hidup dan membakar anak yang berbawaan dengan angkasa dan masyarakatnya. Lebih lanjut beliau agak-agih bahwa “Pendidikan umumnya berarti kapabilitas upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), anggapan (intellect) dan tubuh anak; dalam pengertian Taman Siswa tak boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu, biar supaya saya dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan nafkah anak-anak yang saya didik berbawaan dengan dunianya.

Menurut buku “Higher Education For America Democracy”: Education is an institution of civilized society, but the purposes of education are titinada the same in all societies, an educational system finds it‟s the guiding principles and ultimate goals in the aims and philosophy of the social instruksi in which it functions “pendidikan ialah satu lembaga dalam tiap-tiap masyarakat yang beradab, tetapi alamat bimbingan tidaklah sama dalam saban masyarakat. Sistem bimbingan satu masyarakat (bangsa) dan alamat tujuan pendidikannya didasarkan arah prinsip-prinsip (nilai) cita-cita dan makulat yang berlaku dalam satu masyarakat (bangsa)”.

Menurut Brubacher dalam bukunya “Modern Philosophies of Education”: “Education should be thought of as the process of mans reciprocal adjusment to nature to his follows and to the ultimates nature of the cosmos. “Pendidikan diartikan sebagai proses imbang balik dari saban awak manusia dalam adaptasi dirinya dengan alam, dengan handai dan angkasa semesta.

Pendidikan melahirkan pula perkembangan yang terorganisasi dan kebulatan dari sarwa potensi manusiawi, moral, cendekiawan dan awak oleh dan untuk budi pekerti individunya bersama arti masyarakatnya yang diarahkan bagi menggabungkan sarwa aktivitas tersebut alokasi alamat hidupnya”.[18]

Prof. Lodge dalam buku “Philosophy of Education”: The word “education” is used, sometimes in a wider, sometimes in a narrower, sense. In the wider sense, all experience is said to the educative and life is education and education is life. “Perkataan bimbingan kadang-kadang dipakai dalam pengertian yang luas dan pengertian sempit. Dalam pengertian luas bimbingan ialah sarwa pengalaman, dapat dikatakan juga bahwa hidup ialah bimbingan atau bimbingan ialah hidup”. In the narrower sense “education is restricted to that function of the community which consists in passing in its traditions its background and its outlook to the members of the rising generation.

“Pengertian bimbingan ala ketang ialah bimbingan dibatasi pada fungsi tertentu di dalam masyarakat yang terdiri arah pelimpahan adat adat (tradisi) dengan latar belakang sosialnya, pandangan hidup masyarakat itu kepada warga masyarakat generasi berikutnya.



c. Pengertian Kebijakan Pendidikan

Kebijakan bimbingan ialah kebijakan jemaah di bidang pendidikan. Ensiklopedia menyebutkan bahwa kebijakan bimbingan berkenaan dengan kumpulan adat atau aturan yang mengatur aktualisasi bentuk pendidikan, yang tercakup di dalamnya alamat bimbingan dan betapa dengan cara apa mencapai alamat tersebut.

Kebijakan bimbingan ialah satu alasan estimasi yang didasarkan arah bentuk nilai dan jumlah penilaian akan faktor-faktor yang bersifat situsional. Pertimbangan tersebut dijadikan sebagai alas untuk mengoperasikan bimbingan yang bersifat melembaga bersama melahirkan menghampirkan am yang dijadikan sebagai arahan untuk mengambil keputusan biar alamat yang bersifat melembaga dapat tercapai. [19]

Adapun kebijakan jemaah di bidang bimbingan dapat didefinisikan sebagai keputusan yang diambil bersama antara pemerintah dan aktor di luar pemerintah dan mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhinya untuk dilaksanakan atau tak dilaksanakan pada bidang bimbingan alokasi sarwa warga masyarakat. Kebijakan jemaah bidang bimbingan melingkungi anggaran pendidikan, kurikulum, rekrutmen tenaga kependidikan, pengembangan profesional staf, bentala dan bangunan, manajemen pangkal daya, dan kebijakan lain yang bersentuhan melantas maupun tak melantas arah pendidikan.        

H.A.R Tilaar sendiri melepaskan makna yang sedikit berbeda akan “kebijakan pendidikan”, menurutnya kebijakan bimbingan melahirkan kependekaan dari beragam aturan untuk mewujudkan alamat bimbingan nasional, diwujudkan atau dicapai melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan (social institutions) atau badan kemasyarakatan dalam bentuk lembaga-lembaga bimbingan formal, nonformal, dan informal.

Dengan demikian dapat dipahami satu kebijakan andaikan tak segera diimplementasikan, maka tak bakal dapat diketahui tingkat keberhasilannya untuk orang banyak. Kebijakan hanya bakal jadi rencana konseptual yang bakal tersimpan rapi dalam tumpukan arsip-arsip saja.

Mark Olsen & Anne-Maie O’Neil menyatakan bahwa kebijakan bimbingan melahirkan gerendel alokasi keunggulan, apalagi keberadaan alokasi negara dalam persaingan global, sehingga kebijakan bimbingan perlu mendapatkan prioritas baku dalam abad globalisasi. Salah ahad argument utamanya ialah bahwa globalisasi membawa nilai demokrasi. Demokrasi yang melepaskan hasil ialah demokrasi yang didukung oleh pendidikan.

Carter V. Good menyatakan, Educational policy is judgment, derived from some system of values and some assesment of situational factors, operating within institutionalized adecation as a general plan for guiding decision regarding means of attaining  desired educational objectives.

Pengertian afirmasi di arah adalah, bahwa kebijakan bimbingan ialah satu penilaian akan bentuk nilai dan faktor-faktor kebutuhan situasional, yang dioperasikan dalam sebuah lembaga sebagai menghampirkan am untuk arahan dalam mengambil keputusan, biar alamat bimbingan yang diinginkan bisa dicapai.

Marget E. Goertz yang dikutip oleh Riant Nugroho mengemukakan bahwa kebijakan bimbingan berkenaan dengan efisiensi dan efektivitas anggaran pendidikan[20]. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, kebijakan bimbingan dipahami oleh penelaah sebagai bagian dari kebijakan publik, yaitu kebijakan jemaah di bidang pendidikan. Dengan demikian kebijakan bimbingan harus identik dengan kebijakan publik. 

Di dalam kerangka kebijakan jemaah ala umum, yaitu kebijakan pembangunan, maka kebijakan melahirkan bagian dari kebijakan publik. Kebijakan bimbingan dipahami sebagai kebijakan di bidang pendidikan, untuk mencapai alamat pembangunan negara di bidang pendidikan, sebagai salah ahad bagian dari alamat pembangunan negara ala keseluruhan.

Secara teoritik, satu kebijakan bimbingan dirumuskan dengan melandaskan awak pada alas adicita yang lebih keilmuan empirik. Kajian ini memakai pola ancangan yang beragam bertemu dengan faham teori yang dianut oleh masing-masing penentu kebijakan. Dalam kajian ini, paling tak ada dua ancangan yang dapat direkomendasikan kepada para penentu/berwenang dalam mengartikan satu kebijakan pendidikan.

Kebijakan bimbingan melahirkan salah ahad kebijakan negara di samping kebijakan-kebijakan lainnya seperti ekonomi, politik, pertahanan, agama dan sebagainya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebijakan pendidikan  melahirkan sub bentuk dari kebijakan negara atau pemerintah ala keseluruhan.

Berdasarkan jumlah penjelasan di arah dapat disimpulkan bahwa kebijakan bimbingan dibuat untuk jadi arahan dalam bertindak, memandu kegiatan dalam bimbingan atau badan atau sekolah dengan masyarakat dan pemerintah  untuk mencapai alamat yang menduga ditetapkan. Dengan bicara lain, kebijakan melahirkan garis am untuk bertindak alokasi pemungutan keputusan pada sarwa jenjang bimbingan atau organisasi.



3. Pendekatan dalam Perumusan Kebijakan Pendidikan

a. Pendekatan Social Demand Approach (kebutuhan sosial)

Sosial demand approach ialah satu ancangan dalam perumusan kebijakan bimbingan yang melandaskan awak pada aspirasi, tuntutan, bersama aneka hajat yang didesakkan oleh masyarakat. Pada macam ancangan macam ini para pengambil kebijakanakan lebih awal menyelami dan mendeteksi akan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat sebelum mereka mengartikan kebijakan bimbingan yang ditanganinya. 

Pendekatan social demand sebenarnya tak semata-mata merespon aspirasi masyarakat sebelum dirumuskannya kebijakan pendidikan, bakal tetapi juga merespon tuntutan masyarakat setelah kebijakan bimbingan diimplementasikan. Partisipasi warga dari sarwa lapisan masyarakat diharapkan berjalan apik pada masa perumusan maupun aplikasi kebijakan pendidikan. Dalam perumusan kebijakan dapat digolongakan ke dalam tipe perumusan kebijakan yang bersifat pasif. Artinya satu kebijakan baru dapat dirumuskan andaikan ada tuntutan dari masyarakat terlebih dahulu.

b. Pendekatan Man-Power Approach

Pendekatan macam ini lebih memfokuskan kepada pertimbangan-pertimbangan logis dalam bagan menciptakan kesiapan sumberdaya manusia (human resources) yang memadai di masyarakat. Pendekatan man-power ini tak melihat apakah ada ajakan dari masyarakat atau tidak, apakah masyarakat menuntut untuk dibuatkan satu kebijakan bimbingan tertentu atau tidak, tetapi yang terpenting ialah menurut pertimbangan-pertimbangan logis dan idealis dari sudut pandang pengambil kebijakan. 

Pemerintah sebagai pemimpin yang berwenang mengartikan satu kebijakan ada legitimasi kuat untuk mengartikan ebijakan pendidikan. Dapat dipetik aspek bena dari ancangan macam kedua ini, bahwa ala am lebih bersifat otoriter. Man-power approach kurang menghargai proses demokratis dalam perumusan kebijakan pendidikan, terbukti perumusan kebijakannya tak diawali dari adanya aspirasi dan tuntutan masyarakat, bakal tetapi melantas sahaja dirumuskan bertemu dengan tuntutan masa depan sebagaimana dilihat oleh sang pemimpin visioner. Terkesan adanya cara-cara otoriter dalam ancangan macam kedua ini. Namun dari sisi positifnya, dalam ancangan man-power ini proses perumusan kebijakan bimbingan yang ada lebih berlangsung berdaya guna dalam proses perumusannya, bersama lebih berdimensi jangka panjang.[21]



4. Kriteria Kebijakan Pendidikan

Kebijakan bimbingan ada idiosinkrasi yang khusus yakni:

Memiliki alamat pendidikan; Kebijakan bimbingan harus ada tujuan, akan tetapi lebih khusus, bahwa beliau harus ada alamat bimbingan yang jelas dan terarah untuk melepaskan kontribusi pada pendidikan,

Memiliki aspek legal-formal; kebijakan bimbingan tentunya bakal diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan arah pra-syarat yang harus dipenuhi biar kebijakan bimbingan itu diakui dan ala absah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan bimbingan harus memenuhi kondisi konstitusional bertemu dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga beliau dapat dinyatakan absah dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga dapat dimunculkan satu kebijakan bimbingan yang legitimat,

Memiliki corat-coret operasiona; kebijakan bimbingan sebagai sebuah arahan yang bersifat umum, tentunya harus ada manfaat operasional biar dapat diimplementasikan dan ini ialah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian alamat bimbingan yang embuh dicapai. Apalagi kebutuhan bakal kebijakan bimbingan ialah fungsi pendukung pemungutan keputusan.

Dibuat oleh yang berwenang;Kebijakan bimbingan itu harus dibuat oleh para andal di bidangnya yang ada kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada bimbingan dan alam di luar pendidikan. Para administrator pendidikan, pengelola lembaga bimbingan dan para politisi yang berangkaian melantas dengan bimbingan ialah unsur minimum pembuat kebijakan pendidikan.

Dapat dievaluasi; kebijakan bimbingan itu pun tentunya tak bebas dari keadaan yang sesungguhnya untuk ditindaklanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sebaliknya andaikan berisi kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan bimbingan ada aksara dapat membolehkan adanya catatan terhadapnya ala mudah dan efektif.

Memiliki sistematika; kebijakan bimbingan tentunya melahirkan sebuah bentuk juga, oleh karenanya harus ada sistematika yang jelas melekat sarwa aspek yang embuh diatur olehnya. Sistematika itu pun dituntut ada efektifitas, efisiensi yang adiluhung biar kebijakan bimbingan itu tak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh strukturnya akibat serangkaian anasir yang hilang atau saling berbenturan ahad sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat biar pemberlakuannya kelak tak menimbulkan keburukan adat ala internal. Kemudian, ala eksternal pun kebijakan bimbingan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya seperti kebijakan politik, kebijakan moneter, apalagi kebijakan bimbingan di atasnya atau di samping dan di bawahnya.



5. Implementasi Kebijakan Pendidikan

Dalam proses kebijakan bimbingan aplikasi kebijakan ialah sesuatu yang penting, apalagi antara lebih bena dari pada pembuatan kebijakan. Implementasi kebijakan melahirkan jembatan yang menghubungkan formulasi kebijakan dengan hasil (outcome) kebijakan yang diharapkan. Menurut Anderson dalam bukunya abdul wahab, ada 4 aspek yang perlu dikaji dalam aplikasi kebijakan yaitu:

  • Siapa yang mengimplementasikan 
  • Hakekat dari proses administrasi 
  • Kepatuhan, dan 
  • Dampak dari aktualisasi kebijakan

Sementara itu menurut Ripley & Franklin ada dua keadaan yang jadi fokus perhatian dalam implementasi, yaitu compliance (kepatuhan) dan What’s happening? (Apa yang terjadi). Kepatuhan menunjuk pada apakah para implementor patuh akan prosedur atau standard aturan yang menduga ditetapkan. Sementara untuk “what’s happening” memasalahkan betapa dengan cara apa proses aplikasi itu dilakukan, hambatan apa yang muncul, apa yang berhasil dicapai, mengapa dan sebagainya. 

Guna melihat kejayaan implementasi, dikenal jumlah model implementasi, antara lain model yang dikembangkan Mazmanian dan Sabatier yang menyatakan bahwa Implementasi kebijakan melahirkan fungsi dari tiga variabel, yaitu 1) Karakteristik masalah, 2) Struktur manajemen program yang tercermin dalam beragam macam peraturan yang mengoperasionalkan kebijakan, 3) Faktor-faktor di luar peraturan.

C. KESIMPULAN

Kebijakan bimbingan ialah satu penilaian akan bentuk nilai dan faktor-faktor kebutuhan situasional, yang dioperasikan dalam sebuah lembaga sebagai menghampirkan am untuk arahan dalam mengambil keputusan, biar alamat bimbingan yang diinginkan bisa dicapai.

Kebijakan diperoleh melalui satu proses pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan (policy making) ialah terlihat sebagai sejumlah proses dari sarwa bagian dan berhubungan kepada bentuk kemasyarakatan dalam melahirkan alamat sistem. Proses pembuatan keputusan memperhatikan anasir alam eksternal, input (masukan), proses (transformasi), output (keluaran), dan feedback (umpan balik) dari alam kepada pembuat kebijakan.

Fungsi kebijakan bimbingan yaitu kebijakan bimbingan dibuat untuk jadi arahan dalam bertindak, memandu kegiatan dalam bimbingan atau badan atau sekolah dengan masyarakat dan pemerintah  untuk mencapai alamat yang menduga ditetapkan. Dengan bicara lain, kebijakan melahirkan garis am untuk bertindak alokasi pemungutan keputusan pada sarwa jenjang bimbingan atau organisasi.

Kebijakan bimbingan ada idiosinkrasi yang khusus, yakni: 1) Memiliki alamat pendidikan, 2) Memenuhi aspek legal-formal, 3)  Memiliki corat-coret operasional, 4) Dibuat oleh yang berwenang, 5) Dapat dievaluasi, 6) Memiliki sistematika.

DAFTAR PUSTAKA

Arif Rohman, Memahami Pendidikan Dan Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2009.

Alfian, Pemikiran Politik dan Pembangunan Politik di Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1987.

Alex Roseberg, Philosopy of Science, New York: Routledge, 2001.

Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses, Produk, dan Masa Depannya, Ed.I, Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 2002.

Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Karya Agung, 2005.

Cheppy Hari Cahyono dan Suparlan Alhakim, Ensiklopedi Politika, Surabaya: Usaha Nasional, 1982.

Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Bandung: Refika Aditama, 2005.

Keith A. Nitta, The Politic of Structural Education Reform, New York; Routledge, 2008

M. Sirozi, Politik Pendidikan; Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta; Rajagrafindo Persada, 2010.

Muhsin, Politik Hukum Dalam Pendidikan Nasional, Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 2007.

Philipus M Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Surabaya: Yuridika, 2002.

Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Rineka Cipta, 2001.

Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, Jakarta: Kalam Mulia, 2009.

Riant Nugroho, Public Policy, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2014.

Robert A Dahl, Rezims And Opposition, London: Yale University Press.

Solichin Abdul Wahab, Analis Kebijakan Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 1997.

Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, 1978.

http.www.Wikipedia Pendidikan com

[1] Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Karya Agung, 2005), hal. 389.

[2]Philipus M Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Surabaya: Yuridika, 2002), hal. 92

[3] Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal. 4

[4] Philipus, Op.Cit. hal. 90

[5] Alfian, Pemikiran Politik dan Pembangunan Politik di Indonesia, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1987), hal. 51

[6] Robert A Dahl, Rezims And Opposition, (London: Yale University Press), p. 157-163

[7] Alex Roseberg, Philosopy of Science, (New York: Routledge, 2001), 12

[8] Keith A. Nitta, The Politic of Structural Education Reform (New York; Routledge, 2008), 1-2

[9] M. Sirozi, Politik Pendidikan; Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan (Jakarta; Rajagrafindo Persada, 2010), 80

[10] Cheppy Hari Cahyono dan Suparlan Alhakim, Ensiklopedi Politika, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. 170

[11] Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses, Produk, dan Masa Depannya, Ed.I, Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 2002, hlm. 13.

 [12] Ibid, hlm. 14.

[13] Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, (Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, 1978), hal. 3

[14] Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hal. 4

[15] Solichin Abdul Wahab, Analis Kebijakan Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), Hal. 2

[16] Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hal. 83

[17] Muhsin, Politik Hukum Dalam Pendidikan Nasional, (Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 2007), 22

[18] http.www.Wikipedia Pendidikan com

[19] Ali Imron, Op. Cit., hlm. 18.

[20] Riant Nugroho, Public Policy, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2014), hal. 37

[21] Arif Rohman, Memahami Pendidikan Dan Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2009), hal. 114-118

begitulah pembahasan tentang PENGERTIAN POLITIK DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN semoga tulisan ini bermanfaat terima kasih.